Penulisan buku kedua ini aku mulai 11 November 2013. Berkutat dengan
laptop dan bercumbu dengan pekatnya malam hingga subuh habis dengan
sendirinya menjadi
hal yang aku lakukan (hampir) tiap hari. Mulai hari itu, aku kumpulkan
materi dan penggalan-penggalan rasa bahagia, amarah, luka, cinta, dan
air mata yang tersimpan dari rapuhnya ingatan yang mudah tersapu angin
bila tak kutuangkan dalam tulisan.
Aku sedikit menimbang konsep apa yang harus aku sajikan di sini. Apakah
sama seperti buku pertama atau menampilkan sesuatu yang baru? Pada
akhirnya intuisi menuntunku untuk menampilkan sesuatu yang sedikit
berbeda dari buku pertama. Satu-satunya hal yang paling mencolok dari
buku ini adalah tidak adanya potongan cerita atau cerita pendek. Namun,
aku tetap menampilkan satu bagian yang sama agar buku pertama dan kedua
tetap memiliki benang merah.
Sejujurnya, mulai menulis lagi adalah hal yang berat, bukan karena malas
atau tidak mau tapi lebih kepada perasaan dan suasana hati. Menulis
butuh mood yang pas dan tidak bisa dipaksakan. Menulis itu soal rasa dan
rasa harus jujur pada diri sendiri. Kalau bisa diumpamakan, seperti
saat kita bertemu kembali dengan seseorang yang kita cintai. Setelah
berpisah cukup lama, tidak ada kata putus tapi tidak juga bisa dibilang
masih berhubungan.
Perasaan itu segera aku singkirkan dan aku tutupi dengan mengingat
betapa saudara serusukku membutuhkan tempat untuk mencurahkan
kejujurannya, betapa mereka butuh seseorang yang bisa mewakili perasaan
hati yang selama ini tidak berani mereka ungkapkan.
Semangat untuk menyelesaikan buku ini dibangun di atas pondasi
kepedulianku terhadap peyempuan. Melihat bagaimana kami ‘tertindas’,
dipandang rendah, dan seolaholah seolah-olah hanya pantas untuk menurut.
Kami hanya memiliki keinginan dan ruang gerak yang sempit, di bawah
lingkup keegoisan yang dimiliki laki-laki.
Kamu boleh mengartikannya sebagai pemberontakan karena kami memang
melakukan pemberontakan pada hati. Pemberontakan atas apa yang selama
ini memenjara kami. Pemberontakan yang terlihat salah tapi masih tetap
kami lakukan. Pemberontakan atas kenyataan yang dianggap benar tapi aku
masih bersembunyi di sudut hati.
Sekali lagi aku tegaskan, tidak perlu sibuk menerka atau membayangkan
siapa sebenarnya aku ini. Satu hal yang harus kamu tahu, aku hadir untuk
meneriakkan suarasuara yang selama ini masih dipendam, menuliskan
kisahkisah yang selama ini ditutupi, menggambarkan tawa yang ternyata
menyimpan tangis, melukiskan luka yang ternyata terbungkus cinta, dan
menjelaskan air mata yang selalu dibalut senyum.
Mungkin perasaan yang aku rasakan tidak akan bisa sama dengan
perasaanmu. Apa yang aku pikirkan pun tidak akan sama dengan apa yang
sedang kamu pikirkan. Tapi, satu hal yang aku yakini, kita sama-sama
memiliki hati dan akal dari sumber yang sama. Kita mungkin akan memiliki
persepsi berbeda mengenai batasan-batasan selingkuh. Tapi, kita akan
merasakan sakit yang sama saat dikhianati oleh kekasih yang begitu kita
cintai. Kita mungkin memiliki persepsi berbeda saat membicarakan masalah
keperawanan. Tapi, kita akan merasakan sakit dan tidak rela jika hal
penting tersebut direnggut secara paksa oleh orang yang tidak kita
inginkan di waktu dan saat yang tidak tepat.
Jika apa yang aku tuliskan benar-benar sama dengan apa yang kamu alami
atau apa yang ingin kamu ungkapkan maka hal tersebut bukanlah sesuatu
yang aneh karena aku adalah wakil dari hatimu. Namun, jika tulisanku
tidak sesuai dengan apa yang kamu alami atau mungkin sebenarnya belum
kamu alami, aku yakin banyak peyempuan di luar sana yang pernah atau
sedang mengalaminya.
Bagiku membeli sebuah buku jauh lebih baik dibandingkan dengan
menghamburkan uang untuk kesenangan sesaat. Buku dapat kamu baca kapan
atau di mana saja. Buku juga lebih long last time. Buku dapat kamu
simpan sampai tua dan bisa dibaca oleh generasi-genarasi selanjutnya.
Jika kamu menemukan sesuatu atau cerita yang sama dengan apa yang kamu
atau orang terdekatmu alami maka kamu dapat menunjukkan pada mereka dan
berkata, “Ini gue banget”, “Wah…, ini lo banget”, atau “Ini seperti
kisah keluarga gue”. Kalau kamu belum menemukan kisah atau cerita yang
sama maka jadikanlah ini sebagai bekalmu di kemudian hari.
Semoga buku ini memberikan sedikit cahaya bagi kamu yang hatinya sedikit
gelap, seteguk air bagi dia yang jiwanya dahaga, atau seremah roti bagi
mereka yang akalnya sedang lapar. Pada akhirnya dengan segala
kerendahan hati, buku kedua ini aku persembahkan untuk kedua orangtuaku
yang selalu memberikan cinta serta lantunan doa untukku. Tidak lupa buku
ini aku persembahkan untuk seluruh peyempuan di dunia. I Love You All.